WARTA KOTA -- Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun ini merupakan masa yang sulit bagi banyak orang.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) adalah salah satunya, karena masyarakat diminta tetap tinggal di rumah bila tak ada kepentingan yang mendesak.
Manusia sejatinya adalah makhluk sosial, sehingga tinggal di rumah dalam waktu lama menimbulkan rasa jenuh karena tidak bisa berinteraksi langsung dengan teman dan orang selain keluarga, tidak rekreasi ke luar rumah.
Belum lagi masalah finansial akibat hantaman lockdown, sehingga, diakui atau tidak, menyebabkan emosi menjadi tidak stabil.
Alhasil, kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi kesehatan mental seluruh anggota keluarga.
Psikolog Klinis dan juga CEO & Founder dari Personal Growth, Ratih Ibrahim, mengatakan bahwa survei yang dilakukan Personal Growth pada tahun 2020, memperlihatkan dampak pandemi Covid-19 bisa dilihat secara makro dan mikro.
Dampak makro
Secara makro, pandemi Covid-19 berdampak kepada pekerjaan, seperti adanya PHK, pemotongan gaji, dan perubahan sistem kerja, yakni bekerja dari rumah (Work From Home/WFH) dan bekerja di kantor (Work From Office/WFO).
Kemudian dampak secara sosial, yakni masyarakat terisolasi dan hanya bisa bertemu secara daring.
“Lalu juga banyak keluarga atau teman yang meninggal akibat Covid-19, yang membuat kondisi ini semakin mencekam. Dan dampak terakhir dari pandemi secara sosial adalah masyarakat enggak bisa liburan,” kata Ratih dalam acara webinar bertajuk "Membangun Relasi Ibu dan Anak di Masa Pandemi", Sabtu (24/7).
Dampak mikro
Sementara dampak mikronya terjadi dalam diri setiap individu dan keluarga.
Dampak kepada diri sendiri ialah timbul rasa cemas, stres, tidak bisa tidur, isu kesehatan fisik, putus asa, dan depresi.
Lalu dampak kepada keluarga berbentuk cekcok, perceraian, konflik pengasuhan anak, dan rebutan gawai (gadget).
Dampak terhadap anak
Situasi ini memengaruhi semua orang, termasuk anak. Ratih menyebutkan ada lima bentuk dampak pandemi terhadap anak, yakni:
1. Fisik
Ruang eksplorasi anak menjadi terbatas karena di harus di rumah saja untuk waktu cukup lama.
“Secara fisik karena anak lebih sering di rumah saja dan cenderung di kamar aja, selain ruang eksplorasinya terbatas, anak juga jadi malas bergerak sehingga otot-ototnya tidak tumbuh secara maksimal,” ujar Ratih.
2. Kognitif
Selama pandemi anak harus berada di rumah saja, maka mereka lebih banyak melakukan aktivitas menggunakan gawai.
Akibatnya adalah efek kecanduan gawai, dan kesulitan memahami materi pelajaran.
“Mungkin karena lebih sering nonton mulu di gawai, jadi agak kesulitan memahami materi pelajaran. Berujung juga kecanduan gawai, dan terpapar dengan macam-macam hal yang didapat dari media sosial atau yang mereka tonton,” kata Ratih.
3. Emosional
Anak menjadi rentan akan rasa takut atau trauma, yang mungkin tidak dialaminya secara langsung.
Hal ini terjadi akibat anak melihat kecemasan dari ayah dan ibunya, kecemasan dari orang-orang di lingkungan sekitarnya, dan dariyang dilihat dan didengarnya melalui media.
Hal ini menyebabkan anak menjadi stres, putus asa, dan lebih mudah marah.
4. Sosial
Tinggal lama di dalam rumah mengakibatkan keterampilan sosial anak berkurang, dan kesepian karena tidak bisa bertemu teman-teman.
5. Produktivitas
PSBB yang kemudian disebut PPKM mengubah kebiasaan manusia secara drastis, termasuk dalam kegiatan sehari-hari.
Perubahan rutinitas yang drastis ini bisa menghasilkan anak kehilangan motivasi belajar.
Konsep 5K
Lalu bagaimana cara meminimalkan 5 dampak pandemi itu kepada anak?
“Di masa-masa pandemi ini, orangtua harus sehat secara fisik dan mental agar bisa tetap tenang dan percaya diri, supaya bisa memberikan pengasuhan yang optimal,” kata Ratih.
Ratih menganjurkan orangtua perlu menerapkan konsep 5K dalam pengasuhan anak pada situasi pandemi. Tujuannya untuk memberikan kenyamanan kepada anak.
Konsep 5K tersebut ialah Kasih, Konsekuen, Konsisten, Kompak, dan Kompromi.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Kasih
Meski situasi sedang berat, atau anak sedang berulah akibat kebosanan, orangtua tetap harus memberikan kasih sayang dan kelembutan.
Konsekuen
Orangtua tidak melakukan hal yang sebaliknya dari yang diajarkannya ke anak. Apalagi dalam hal prinsipal.
Konsisten
Tentu saja orangtua tidak boleh berubah-ubah dalam pelajaran, terutama yang prinsipal, agar sistemnya berlaku dengan baik.
Kompak
Orangtua juga harus kompak melakukan semua hal di rumah secara bersama-sama dengan anak.
Kompromi
Orangtua juga harus fleksibel untuk hal-hal tertentu.
“Jadi ada hal-hal yang orangtua perlu cukup fleksibel. Tujuannya supaya kebahagian dan kegembiraan dalam keluarga tetap ada. Kalau keluarga bahagia imunitas akan naik,” kata Ratih.
Halaman selanjutnya