Lunardi Valanchie (62 ) adalah pemilik toko kopi yang masih tersisa di Pasar Boplo, Jalan Srikaya I No 25, Menteng, Jakarta Selatan.
Nama Toko Kopi yang dijalankan Lunardy Valanchie Toko Kopi Luwak.
Toko kopi di Pasar Boplo persis di dekat Stasiun Kereta Gondangdia dan Pasar Gondangdia tetap berdiri, bersaing dengan toko kopi modern lainnya.
Sang pemilik Toko Kopi Luwak, Lunardi Valanchie melanjutkan usaha dari orang tuanya.
Untuk menggiling biji kopi, dia menggunakan mesin giling kopi tua.
Bisnis kopi gilingnya terus mengalami pasang surut seiring perkembangan zaman.
Bahkan, nama Boplo sebagai pasar pun sudah jarang terdengar lagi di masyarakat.
Pada tahun 1970-an hingga 1990-an merupakan era keemasan kopi giling Boplo.
Banyak toko kopi giling di Pasar Boplo menggunakan berbagai merek.
Biasanya kopi dibungkus dengan menggunakan kertas kopi berwarna cokelat yang sudah di beri cap nama kopi dari toko tersebut.
"Dulu waktu saya kecil ada banyak toko kopi di sini. Boplo jadi tujuannya orang yang ingin berburu kopi giling," kata Lunardy.
Namun, satu per satu toko kopi hengkang dari Pasar Boplo atau beralih berjualan barang lainnya.
Hanya toko kopi yang kuat bertahan yang bisa terus berjualan di Pasar Boplo.
• Masjid Agung Al Barkah Kota Bekasi
Hidup dari kopi
Memasuki era kopi instan, keberadaan kopi giling Boplo semakin redup.
Strategi seperti hadiah gelas atau piring yang dihadiahkan untuk pelanggan dan menarik pembeli pernah dilakukan Lunardy.
Menurut Lunardy, toko kopi giling itu yang menghidupi keluarganya. Ayahnya yang menjalankan bisnis kopi giling di Pasar Boplo.
Saat itu, nama toko kopi gilingnya yakni Kopi Bubuk Aseli Cap Burung Kenari.
Setelah usaha diwariskan ke Lunardy, toko kopi giling itu juga bisa untuk membayar kuliah anaknya hingga selesai.
Toko Kopi Cap Burung Kenari sudah ada sejak 1930. Ayah Lunardy yakni Tay Sen yang mendirikan toko kopi tersebut.
Tay Sen berasal dari wilayah selatan China. Kemudian, Tay Sen menetap di Boplo untuk membuka toko obat-obatan.
Namun toko tersebut sepi pembeli.
Lantas Tay Sen mengganti barang jualannya menjadi bahan-bahan kebutuhan pokok dan kopi.
Tay Sen sudah tutup usia sejak pertengahan tahun 2004. Sejak saat itu, Lunardy mengambil alih toko dan menjalankan bisnis kopi giling.
Pasalnya, sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia wajib meneruskan bisnis kopi giling tersebut dan menjaga kesehatan ibunya yang kini tinggal bersama keluarganya.
Saat ditemui, Lunardy dan sang ibundanya sesekali saling mengobrol akrab saat toko tak melayani pembeli.
Sedangkan istri Lunardy bekerja dari pagi hingga sore hari.
Lunardy baru bisa bertemu sang istri setelah sang istri selesai bekerja.
Terpuruk selama dua tahun
Saat bisnis kopi giling sedang meredup di Pasar Boplo pada tahun 2012, ada musibah besar melanda Pasar Boplo.
Pasar Boplo kebakaran akibat ledakan tabung gas. Si jago merah juga menyambar toko sekaligus rumahnya Lunardy Valanchie.
Tak ada satu pun toko kopi yang tersisa saat kebakaran tahun 2012 tersebut.
Lunardy Valanchie hanya bisa menyelamatkan dokumen-dokumen penting.
Selain itu, dia menyelamatkan mesin giling kopi tua warisan orang tuanya.
Hanya satu toples kopi yang bisa diselamatkannya, sedangkan toples-toples kaca lainnya pecah.
Ketika terjadi kebakaran, warga sekitar sangat membantu dirinya dan keluarganya.
Setelah kejadian kebakaran besar itu, pemilik toko kopi yang tersisa benar-benar menutup tokonya untuk selamanya.
Ada pula pemilik toko yang memutuskan ganti usaha lain atau pindah tempat.
• Kesenian Belanda Depok Tanjidor dan Keroncong Dipengaruhi Eropa dan Kampung Tugu
Pasca-kebakaran toko kopi gilingnya, Lunardy sempat sangat tertekan saat itu. Apalagi kerugiannya sangat banyak.
Lalu, dia dan keluarganya memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya yang tak jauh dari sana toko kopinya.
Untuk mencari pekerjaan lain susah karena hanya punya modal ijazah SMA ditambah usianya yang sudah tidak muda lagi.
Setelah dua tahun menutup toko kopinya karena tak ada modal, beberapa teman dan kolega mengumpulkan donasi untuk membantunya membuka usaha kembali.
Tempat pada 10 Januari 2014, toko kopinya kembali dibuka dan menerima pelanggan.
Sebelumnya, toko kopi gilingnya bernama Cap Burung kenari.
Tapi, setelah lahir kembali toko itu berganti nama menjadi Toko Luwak.
• 6 Bangunan Bersejarah Peninggalan Belanda di Depok
Menurut dia, cerita Cap Burung Kenari telah berakhir dan diganti dengan si Luwak.
Bapak satu anak ini berharap, Toko Kopi Luwak bisa lebih membawa hoki untuk bisnisnya. Apalagi, kata Lunardy, kopi luwak sedang tren.
Awalnya, Lunardy sempat tak percaya diri bisa melanjutkan usahanya berjualan kopi giling lagi.
Apalagi banyak pelanggannya yang sudah pergi.
Dia pun harus menjalankan bisnisnya dari nol.
Meski begitu, dia tak berkecil hati dan percaya bahwa setiap orang memiliki pintu rezeki masing-masing.
Pikirannya itu terbukti. Perlahan-lahan usahanya bangkit dari keterpurukan.
Saat ini, dia dalam sehari bisa menjual tujuh kilogram kopi giling.
• Museum Seni Rupa dan Keramik
Toko Lunardy Valenchia tak lagi menyediakan sembako yang tersusun memenuhi tokonya.
Dia hanya menyajkan kopi yang ditawarkan kepada pembelinya.
Pria yang akrab disapa Koh Yilun itu tak ingin serakah ikut menjual sembako. Pasalnya, di deretan tokonya sudah ada yang menjual sembako.
Dia lebih memilih menjual kopi.
Toko Luwak pun mulai dikenal masyarakat, meskipun promosi dari mulut ke mulut.
Menurut Lunardy, selalu ada pelanggan yang minta digilingkan kopi sesuai seleranya, gilingan kopi kasar atau halus.
Ganti nama
Lunardy kecil memiliki nama asli Xu Yi Lun. Dia anak tertua dari tiga bersaudara.
Pada tahun 1980-an, dia berganti nama sesuai peraturan pemerintah masa Presiden Soeharto yang melarang memakai nama dari tiga suku kata.
Dia tak mengerti mengapa namanya harus diganti. Alasannya, dia lahir dan tumbuh di Boplo, Menteng. Temannya pun banyak dari sekitar tempat tinggalnya.
Saat itu, dia juga harus memilih apakah ingin menjadi warga negara asing (WNA) atau warga negara Indonesia (WNI).
Untuk mengurus perubahan nama dan kewarganegaraannya, dia bersama sang ayah harus bolak-balik ke kantor Catatan Sipil.
Statusnya menjadi WNI baru bisa diperoleh ketika seorang pria Batak yang sering menitipkan tas di tokonya.
Ternyata, orang yang kerap menitip tas kepadanya itu pegawai pemerintah di kantor Catatan Sipil.
"Dia juga kaget liat kita. Setelah ceritakan masalahnya akhirnya dia bantu saya. Orang-orang disana kena omel om itu," kata Lunardy.
• Museum Nasional Republik Indonesia
Meskipun telah berganti nama, nama populernya tetap Yi Lun hingga saat ini.
Namun, dia kerap mendapat kesulitan ketika harus berhubungan dengan sistem pemerintahan.
Saat SMA, dia harus menjalani selama lima tahun. Pasalnya, semula dia bersekolah di SMA yang berbahasa China atas permintaan sang kakek hingga kelas dua SMA.
Namun, sekolah itu ditutup, sehingga dia harus pindah sekolah umum dan mengulang dari kelas satu.
Tahun-tahun berlalu, Lunardy menemukan kebahagiaannya berjualan kopi. Dia tak bisa lepas dari aroma biji kopi dan bubuk kopi.
Ketika sedang suntuk dan bosan, dia membaca buku koleksinya.
Dia juga gemar membuat catatan di buku sakunya.
• Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
"Saya suka sekali baca. Kalau tak ada pembeli baca buku-buku ini . Kadang buku yang udah pernah di baca saya baca ulang. Anak saya sih nggak suka baca. Dia larinya ke IT (informasi teknologi--Red)," katanya.
Meskipun toko kopinya adalah usaha warisan, pria yang hangat dan murah senyum itu tak ingin memaksakan anaknya untuk meneruskan usaha keluarganya.
Begitu juga adik-adiknya tak ingin berjualan kopi karena sibuk sebagai pekerja kantoran.
Untuk menjalankan bisnis kopi, kata Lunardy, jika tak ada panggilan hati akan susah menjalankannya.
Halaman selanjutnya