Inilah Cara yang Bisa Dilakukan Orangtua untuk Mencegah Anak Kecanduan Gawai
Mencegah anak kecanduan gawai membutuhkan peran aktif orangtua, karena anak mencontoh orangtua.
WARTA KOTA -- Zaman sekarang gawai sudah menjadi kebutuhan bagi setiap orang, terutama yang tinggal di perkotaan.
Bahkan tingkat kebutuhan itu sudah sampai taraf ketergantungan.
Sebagai ilustrasi, lupa membawa telepon seluler (ponsel) pada saat ini bisa membuat banyak orang kelabakan karena tidak bisa bekerja atau beraktivitas, karena semua bahan pekerjaan dan tugas ada di gawai tersebut.
Ketergantungan itu tidak hanya ditemukan pada orang dewasa, tapi juga di anak-anak.
Dan sayangnya, ketergantungan itu bukan karena anak-anak harus mengerjakan tugas lewat gawai, melainkan hanya untuk bermain gim.
Teladan orangtua
Kondisi seperti ini bisa jadi akibat pengaruh dari orangtuanya, sebab orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mengasuh dan memperhatikan pola perilaku anaknya, termasuk dalam pengunaan gawai dan internet.
Tujuannya agar tidak terjadi adiksi alias kecanduan pada anak-anak.
Menurut dr Enjeline Hanafi SpKJ BMedSci, hal pertama yang harus diperhatikan dalam mencegah adiksi gawai di anak adalah perilaku penggunaan gawai oleh orang dewasa di sekitar anak.
Orang dewasa, khususnya orangtua harus bisa menjadi teladan bagi buah hatinya.
"Caranya seperti membatasi diri menggunakan internet, mematikan notifikasi, dan tidak menggunakan gawai saat sedang berbicara atau berkumpul bersama anak," kata dr Enjeline dalam webinar peluncuran program "Jauhkan Adiksi Gawai Optimalkan Potensi Anak (Jagoan)" belum lama ini.
Orangtua harus bisa mengatur tempat dan waktu penggunaan media sosial atau permainan, terutama saat sedang makan dan sebelum tidur.
"Orangtua sebaiknya menjadwalkan kegiatan rutin bersama anak, baik yang berkaitan dengan waktu bermain online seperti game online dan bermain offline, seperti memasak, membaca, ataupun berolahraga," kata Enjeline.
Kebiasaan buruk
Lebih lanjut dokter Enjeline membeberkan sebuah kebiasaan orangtua zaman sekarang, yaitu langsung menyodorkan gawai ketika anaknya rewel agar anak segera diam.
"Nah, ini sebaiknya juga tidak boleh dilakukan, karena tetap harus ada batasan berapa jam yang harus kita kasih sebagai batasan terhadap anak-anak kita. Jadi jangan buat penggunaan gawai sebagai hadiah," ujarnya.
Timbal balik
Selain tip-tip tersebut, dr Enjeline juga menekankan pentingnya pola asuh yang baik dari orangtua agar anak merasa adil dan disayang.
Dia menjelaskan ada empat pola asuh orangtua, yakni authoritarian, authoritative, permissive, dan uninvolved.
Authoritarian adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan secara kaku sehingga tak ada lagi kebebasa personal, dalam hal ini anak.
Sementara authoritative adalah pola asuh yang mengedepankan rasa percaya kepada anak, agar anak-anak menjadi percaya diri dan dapat diandalkan.
Permissive adalah pola asuh yang melimpahi anak dengan kasih sayang, namun kurang memberikan batasan perilaku dan aturan sebagai orangtua.
Sedangkan uninvolved adalah pola asuh yang tidak peduli akan kebutuhan dasar anak serta keinginannya.
Menurut dr Enjeline, pola asuh authoritative yang paling baik di antara keempat pola asuh tersebut.
Pasalnya, terjadi hubungan timbal balik antara anak dan orangtua.
Dalam pola asuh ini anak dapat beropini dan mengeluarkan pendapatnya lewat diskusi dan negosiasi.
Kegiatan diskusi ini sangat baik dalam sebuah keluarga, yakni antara ayah dan ibu dengan anak, atau di antara anak-anak.
"Jadi dalam negosiasi itu tidak bisa satu anak mendapat satu aturan, lalu kakaknya beda lagi. Semua aturan yang ada di rumah itu berlaku untuk semua anggota keluarganya,” ujarnya.
Kesepakatan
Di sisi lain, dr Enjeline juga menganjurkan untuk melakukan kesepakatan tertulis mengenai penggunaan internet, antara orangtua dan anak, terutama bagi yang beranjak remaja.
Tujuannya agar anak tersebut dapat mengurangi penggunaan gawai, serta bisa belajar untuk bertanggung jawab atas kesepakatan yang ditulis dan ditandatangani.
"Pada intinya kita ingin menemukan suatu keseimbangan, baik positif maupun negatif dari keseimbangan gawai," katanya.
"Memang titik tengahnya adalah kita harus tahu banyak informasi, kita harus tahu dulu untuk menemukan titik tengahnya seperti apa. Negosiasi dan diskusi itu merupakan hal yang penting dalam menanggulanginya,” tandas dr Enjeline. (Ign Agung Nugroho).
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!