Wisata Kota Toea

Museum Sumpah Pemuda: Obrolan saat Makan Malam Menjadi Cikal Bakal Negara Indonesia

Tempat indekos mahasiswa di Jalan Kramat Raya Nomor 106 ini merupakan lokasi bersatunya berbagai suku bangsa menjadi bangsa Indonesia.

Editor: AC Pinkan Ulaan
Warta Kota/ Angga Bhagya Nugraha
Gedung di Jalan Kramat Nomor 106 menjadi lokasi ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kini gedung ini menjadi Museum Sumpah Pemuda. 

Sumpah Pemuda

Akhir Oktober 1928 diadakan tiga kali rapat umum pemuda. Yang pertama, di
gedung Katholieke Jongelingen di Lapangan Banteng, tanggal 27 oktober
1928.

Rapat yang kedua di Oost-Java Bioscoop, di Medan Merdeka Utara, pagi-pagi
tanggal 28 oktober.

Yang terakhir, malam hari di Jalan Kramat Raya 106.

Dalam ketiga rapat umum itu, selain para pemuda juga hadir khalayak ramai,
polisi, dan dinas intelijen Hindia-Belanda.

"Pemuda" yang hadir memang betul-betul muda. Mohammad Yamin baru setahun
menjadi mahasiswa. Banyak yang lebih muda lagi.

Pandu-pandu yang menjaga keamanan malam itu berumur di antara 11-18 tahun!

Dalam ketiga rapat umum itu, beberapa orang rupanya belum fasih berbahasa
Indonesia.

Mereka berpidato dalam bahasa Belanda, dan Mohammad Yamin
menerjemahkannya.

Namun, rasa nasionalisme tetap menggebu-gebu rupanya.

Mulanya kelompok kepanduan ingin berarak-arakan, tetapi pihak kepolisian
tidak mengizinkannya.

Larangan menjengkelkan ini semakin meningkatkan solidaritas pemuda.

Ketika WR Supratman mengalunkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya,
tampak banyak mata berlinang di ruangan itu.

Menjelang akhir acara, ketika Sunario SH menyerukan para pemuda untuk
menjadi penggerak persatuan Indonesia,

Mohammad Yamin, sekretaris di acara itu, menyodorkan sehelai kertas kepada Sugondo, ketua rapat.

“Saya punya rumusan resolusi yang elegant," katanya.

Muhammad Yamin, penulis teks Sumpah Pemuda tahun 1928.
Muhammad Yamin, penulis teks Sumpah Pemuda tahun 1928. (Warta Kota/ Angga Bhagya Nugraha)

Sugondo segera memberi paraf setuju setelah membaca rumusan di kertas itu.
Amir Syarifuddin membacanya dan juga segera menandatangani kertas itu.

Rumusan sederhana di kertas itulah Sumpah Pemuda, yang kemudian dibacakan
dengan lantang: “Kami, poetra-poetri Indonesia, mengakoe....

Frieda Amran, Antropolog lulusan Universitas Indonesia, tinggal di
Belanda.

Tulisan ini sudah terbit di rubrik Wisata Kota Toea  Harian Warta Kota pada bulan Oktober 2010.

Ikuti kami di
715 articles 182 0
Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

BERITA TERKINI

berita POPULER

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved