Wisata Kota Toea
Museum Sumpah Pemuda: Obrolan saat Makan Malam Menjadi Cikal Bakal Negara Indonesia
Tempat indekos mahasiswa di Jalan Kramat Raya Nomor 106 ini merupakan lokasi bersatunya berbagai suku bangsa menjadi bangsa Indonesia.
Istilah Belandanya in de kost, dan menjadi "indekos" dalam Bahasa
Indonesia.
Rumah di Jalan Kramat Raya 106 merupakan rumah indekos yang disukai.
Kebanyakan mahasiswa itu tidak berasal dari keluarga berada. Untunglah
sebagian besar menerima beasiswa dengan ikatan dinas.
Uang itu cukup untuk membayar biaya indekos dan makan sebanyak 7,50 gulden
Belanda per bulan.
Dengan uang sebanyak 7,50 gulden Belanda, seseorang sudah dapat membeli
sepatu kulit dan setelan pakaian dari linen.
Iuran perkumpulan pemuda kira-kira sebesar 0,25 gulden per bulan.
Pada mulanya hanya mahasiswa anggota Jong Java saja yang indekos di rumah
itu.

Tempat kumpul pemuda
Pada tahun 1927, rumah itu menjadi tempat pertemuan pemuda nasional dari
berbagai daerah.
Gedung itu diberi nama Indonesische Clubgebouw, atau Indonesisch Clubhuis
(Gedung Pertemuan Indonesia, disingkat IC).
Walaupun pemerintah Hindia-Belanda tidak menyukai istilah "Indonesia",
nama itu ditulis dengan jelas di atas sebilah papan putih yang dipancang
menantang di halaman depan.
Di dalam rumah itu terdapat ruang baca. Di sana tersedia juga meja biliar
untuk menghilangkan kebosanan belajar.
Ruangan ini menjadi jantung rumah, tempat para pemuda berkumpul, belajar
bersama, dan berdiskusi politik.
Di belakang rumah, terdapat kamar-kamar kos.
Mohammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Asaat, Abu Hanifah, AK Gani, F Lumban Tobing, dan Mokoginta merupakan beberapa penghuni yang namanya tidak terdengar asing di telinga.
Kelompok seni Langen Siwo dan kepanduan juga berlatih di sana.
Terbayang ramainya gedung tua itu oleh segala kegiatan di sana.
Makan malam selalu berjam-jam, karena setelah makanan habis disantap tak
ada yang beranjak.
Diskusi seru menggeser obrolan ringan. Lama-kelamaan yang berdiskusi tidak
terbatas pada yang indekos saja.
Pemuda-pemuda yang latihan kesenian dan kepanduan ikut menarik kursi
mengitari meja makan.
Seandainya meja makan itu masih ada, alangkah banyak yang dapat
diceritakannnya mengenai perdebatan dan seloroh anak-anak muda itu.

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!