WARTA KOTA WIKI -- Setiap kali pulang ke Jakarta pastilah seorang perantau pertama-tama tercengang melihat banyaknya jumlah dan jenis kendaraan yang memadati jalanan Ibu Kota.
Dalam waktu sepuluh menit, keheranan perantau itu berubah menjadi sebal dan frustrasi, dan akhirnya pasrah menghadapi kemacetan sepanjang siang dan malam. Bukan main.
Pada tahun 1937, Gemeente Batavia (Pemerintah Daerah Batavia) membuat laporan terinci yang memperbandingkan situasi Ibu Kota pada tahun 1913 dan 1937.
Pada tahun 1913, jalan di Jakarta baru sepanjang 350 km saja. Baru 2.085.000 m2 yang beraspal.
Namun angka-angka ini sudah berlipat ganda dalam waktu dua puluh tahun.
Berdebu di musim kemarau, banjir di musim hujan
In the good old days sebelum 1937, di musim kemarau sebagian besar penduduk Batavia mengidap sakit kerongkongan, karena debu yang beterbangan ditiup angin.
Pada waktu ini, barangkali para dokter panen pasien. Tetapi rasanya tak ada yang menginginkan masa-masa itu terulang kembali.
Bila musim hujan tiba, sebagian besar jalan itu berubah menjadi kubangan lumpur, dan banyak pejalan kaki terpaksa bermandi lumpur oleh percikan mobil yang mulai banyak berseliweran.
Di musim hujan, secara berkala setengah wilayah Batavia terendam air.
Banjir kanal di antara Menteng dan Gondangdia, dan perbaikan saluran-saluran pembuangan banyak mengurangi gangguan banjir ini.
Perbaikan kampung
Gemeente Batavia mulai menjalankan program perbaikan kampung (kampongverbetering) sekitar awal tahun 1920-an.
Yang dianggap kampung adalah daerah pemukiman orang-orang "‘kurang berada". Lucu, istilah ini memang digunakan dalam laporan resmi itu.
Yang termasuk dalam golongan "kurang berada" itu adalah sebagian besar penduduk pribumi, dan sebagian dari penduduk campuran Indo-Eropa.
Termasuk di sini adalah orang Arab dan Cina, yang terutama bekerja sebagai pemilik
warung.
Sebanyak 1.135 ha di wilayah Gemeente Batavia dan Meester Cornelis dapat dianggap sebagai kampung.
Perlu dicatat bahwa pada tahun 1937 itu daerah Meester Cornelis, atau Jatinegara, belum termasuk wilayah Batavia.
Biasanya jalan-jalan kampung tidak diaspal, dan saluran pembuangan air tidak berfungsi dengan baik. Kedua hal ini pula yang terutama diperhatikan dalam program perbaikan kampung itu.
Di antara 1921-1936, sekitar 308 kampung diperbaiki dengan anggaran sebesar satu seperempat juta (1,25 juta) gulden.
Perbaikan bangunan rumah tinggal dianggap merupakan tanggungj awab pemiliknya sendiri.
Pemerintah daerah membangun sekitar 70 buah rumah-rumah pemandian dan wc umum di berbagai kampung.
Penduduk dapat mandi, mencuci dan membuang air secara cuma-cuma di tempat itu.
Ketika Batavia baru didirikan, sering terdengar orang memuji kota ini sebagai daerah
asri bercuaca baik.
Di abad ke-18, orang tidak lagi memuji-mujinya. Batavia dijuluki sebagai kota yang tidak sehat dan membawa kematian. Eksotis tetapi mengerikan!
Frieda Amran, Antropolog lulusan Universitas Indonesia, tinggal di Belanda.
Tulisan ini sudah terbit di rubrik Wisata Kota Toea Harian Warta Kota pada bulan November 2010.