WARTA KOTA WIKI -- Di Jalan Kramat Raya 106 terdapat bangunan tua yang pernah menjadi rumah kos, Indonesisch Clubhuis, toko bunga, hotel, persembunyian pejuang, dan bahkan Kantor Inspeksi Bea Cukai.
Bangunan itu adalah sebuah gedung bersejarah. Di sanalah pada tanggal 28
Oktober 1928, pemuda Indonesia membacakan resolusi Sumpah Pemuda.
Pada tahun 1973 gedung itu ditetapkan sebagai cagar budaya, dan diresmikan
sebagai Gedung Sumpah Pemuda oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada
20 Mei 1973
Setahun kemudian, 20 Mei tahun 1974, kembali diresmikan, kali itu oleh
Presiden Soeharto.
Tidak istimewa
Pada tahun 1928, rumah di Jalan Kramat Raya itu tidak akan menarik
perhatian orang, karena tak tampak istimewa.
Hampir semua rumah di daerah itu dikelilingi kebun yang hijau. Di beranda
depan, biasanya orang duduk minum teh sore atau berkelakar.
Di dalam terdapat ruang tamu, ruang makan, dan ruang keluarga.
Kamar-kamar tidur terdapat di sebelah kiri dan kanannya.
Dapur, kamar mandi/wc, dan kamar-kamar pembantu terdapat di belakang
bangunan induk.
Seringkali dibangun paviliun dengan kamar mandi dan dapur tersendiri.
Awalnya, orang membangun paviliun untuk tamu. Tetapi kemudian untuk
disewakan kepada orang-orang yang belum menikah, keluarga kecil, atau
mahasiswa.
Penduduk Batavia
Sensus penduduk tahun 1930 mencatat adanya 6.000 orang Melayu, 3.600 orang
Minahasa, 2.190 orang Ambon, dan 2.000 orang Sumatra di Batavia.
Tercatat pula adanya orang Depok, Timor, Banjar, Bugis-Makassar, 7 orang
Dayak, 2 orang Toraja, dan 2 orang Papua.
Sebagian kecil dari orang-orang ini adalah mahasiswa.
Di segitiga antara Lapangan Banteng, Pasarsenen, dan Jatinegara terdapat
dua buah sekolah tinggi, yaitu STOVIA (yang menjadi Fakultas Kedokteran
UI) dan Sekolah Tinggi Hukum (yang menjadi Fakultas Hukum UI).
Pada tahun 1937, terdapat 16 orang gurubesar serta 400 mahasiswa di
Sekolah Tinggi Kedokteran, dan delapan orang gurubesar dan 400 mahasiswa
di Sekolah Tinggi Hukum.
Kedua sekolah tinggi itu mengundang datangnya pemuda-pemuda dari seluruh
Indonesia untuk menuntut ilmu.
Mahasiswa perantau
Pemuda-pemuda perantau itu menyewa kamar di dekat sekolah mereka.
Istilah Belandanya in de kost, dan menjadi "indekos" dalam Bahasa
Indonesia.
Rumah di Jalan Kramat Raya 106 merupakan rumah indekos yang disukai.
Kebanyakan mahasiswa itu tidak berasal dari keluarga berada. Untunglah
sebagian besar menerima beasiswa dengan ikatan dinas.
Uang itu cukup untuk membayar biaya indekos dan makan sebanyak 7,50 gulden
Belanda per bulan.
Dengan uang sebanyak 7,50 gulden Belanda, seseorang sudah dapat membeli
sepatu kulit dan setelan pakaian dari linen.
Iuran perkumpulan pemuda kira-kira sebesar 0,25 gulden per bulan.
Pada mulanya hanya mahasiswa anggota Jong Java saja yang indekos di rumah
itu.
Tempat kumpul pemuda
Pada tahun 1927, rumah itu menjadi tempat pertemuan pemuda nasional dari
berbagai daerah.
Gedung itu diberi nama Indonesische Clubgebouw, atau Indonesisch Clubhuis
(Gedung Pertemuan Indonesia, disingkat IC).
Walaupun pemerintah Hindia-Belanda tidak menyukai istilah "Indonesia",
nama itu ditulis dengan jelas di atas sebilah papan putih yang dipancang
menantang di halaman depan.
Di dalam rumah itu terdapat ruang baca. Di sana tersedia juga meja biliar
untuk menghilangkan kebosanan belajar.
Ruangan ini menjadi jantung rumah, tempat para pemuda berkumpul, belajar
bersama, dan berdiskusi politik.
Di belakang rumah, terdapat kamar-kamar kos.
Mohammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Asaat, Abu Hanifah, AK Gani, F Lumban Tobing, dan Mokoginta merupakan beberapa penghuni yang namanya tidak terdengar asing di telinga.
Kelompok seni Langen Siwo dan kepanduan juga berlatih di sana.
Terbayang ramainya gedung tua itu oleh segala kegiatan di sana.
Makan malam selalu berjam-jam, karena setelah makanan habis disantap tak
ada yang beranjak.
Diskusi seru menggeser obrolan ringan. Lama-kelamaan yang berdiskusi tidak
terbatas pada yang indekos saja.
Pemuda-pemuda yang latihan kesenian dan kepanduan ikut menarik kursi
mengitari meja makan.
Seandainya meja makan itu masih ada, alangkah banyak yang dapat
diceritakannnya mengenai perdebatan dan seloroh anak-anak muda itu.
Sumpah Pemuda
Akhir Oktober 1928 diadakan tiga kali rapat umum pemuda. Yang pertama, di
gedung Katholieke Jongelingen di Lapangan Banteng, tanggal 27 oktober
1928.
Rapat yang kedua di Oost-Java Bioscoop, di Medan Merdeka Utara, pagi-pagi
tanggal 28 oktober.
Yang terakhir, malam hari di Jalan Kramat Raya 106.
Dalam ketiga rapat umum itu, selain para pemuda juga hadir khalayak ramai,
polisi, dan dinas intelijen Hindia-Belanda.
"Pemuda" yang hadir memang betul-betul muda. Mohammad Yamin baru setahun
menjadi mahasiswa. Banyak yang lebih muda lagi.
Pandu-pandu yang menjaga keamanan malam itu berumur di antara 11-18 tahun!
Dalam ketiga rapat umum itu, beberapa orang rupanya belum fasih berbahasa
Indonesia.
Mereka berpidato dalam bahasa Belanda, dan Mohammad Yamin
menerjemahkannya.
Namun, rasa nasionalisme tetap menggebu-gebu rupanya.
Mulanya kelompok kepanduan ingin berarak-arakan, tetapi pihak kepolisian
tidak mengizinkannya.
Larangan menjengkelkan ini semakin meningkatkan solidaritas pemuda.
Ketika WR Supratman mengalunkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya,
tampak banyak mata berlinang di ruangan itu.
Menjelang akhir acara, ketika Sunario SH menyerukan para pemuda untuk
menjadi penggerak persatuan Indonesia,
Mohammad Yamin, sekretaris di acara itu, menyodorkan sehelai kertas kepada Sugondo, ketua rapat.
“Saya punya rumusan resolusi yang elegant," katanya.
Sugondo segera memberi paraf setuju setelah membaca rumusan di kertas itu.
Amir Syarifuddin membacanya dan juga segera menandatangani kertas itu.
Rumusan sederhana di kertas itulah Sumpah Pemuda, yang kemudian dibacakan
dengan lantang: “Kami, poetra-poetri Indonesia, mengakoe....”
Frieda Amran, Antropolog lulusan Universitas Indonesia, tinggal di
Belanda.
Tulisan ini sudah terbit di rubrik Wisata Kota Toea Harian Warta Kota pada bulan Oktober 2010.
Halaman selanjutnya