WARTA KOTA -- Kata rapid test dan swab test, kadang tes usap, menjadi familiar di masyarakat, di masa pandemi Covid-19 ini.
Dua tes itu memang berkaitan dengan pandemi ini, sebab digunakan untuk memeriksa kehadiran virus dan kuman dalam tubuh seseorang.
Namun, terjadi pula salah kaprah yang menyangka dua tes ini mendeteksi kehadiran virus corona 2, si penyebab Covid-19.
Hanya skrining
Sesuai namanya, rapid test adalah bentuk pemeriksaan secara cepat untuk mengetahui situasi antibodi.
Pemeriksaan ini menggunakan sampel dari darah, yang diambil dengan cara menusuk ujung jari orang yang diperiksa.
Menurut Prof Dr Ida Parwati dr SpPK(K) Phd, dokter spesialis patologi klinik dari RSUP Hasan Sadikin Bandung, di Indonesia rapid test dilakukan sebagai skrining untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat.
Bila hasilnya reaktif akan dilanjutkan dengan pemeriksaan polymerase chain reaction, atau PCR.
Pemeriksaan PCR ini membutuhkan sampel yang diambil dengan cara diusap (swab). Makanya pemeriksaan PCR ini lebih dikenal dengan nama swab test.
Para doketer dan ahli kesehatan menyatakan bahwa pemeriksaan PCR memberikan hasil yang lebih akurat, dibandingkan rapid test. Mau tahu penyebabnya?
Di tenggorokan
Menurut Prof Ida, sampel tes usap diambil di saluran nafas (hidung dan tenggorokan), di mana virus corona 2 itu menempel di sana.
Namun tak kalah penting juga adalah waktu perjalanan penyakit. Sehingga itulah gunanya melakukan tes berulang kali untuk memastikan hasilnya.
“Pada waktu awal terkena infeksi, saat dilakukan rapid tes hasilnya negatif. Tetapi ketika dilakukan PCR hasilnya positif, karena virus itu sudah ada di saluran pernapasan. Dalam perjalanan waktu, tubuh berhasil membuat virus itu mati sehingga antibodi (darah) masih memunculkan hasil positif, tapi dites PCR sudah negatif,” ujar Prof Ida saat live IG di radio kesehatan, Jumat (4/9/2020).
Dia menjelaskan, rapid test atau pemeriksaan antibodi dilakukan sebagai skrining.
Bila hasilnya reaktif, yang artinya sistem imun obyek tes sedang menghadapi makhluk asing, akan dilanjutkan tes PCR untuk memastikan kehadiran virus.
"Untuk kasus tertentu dan orang dengan risiko tinggi, seperti melakukan perjalanandi zona merah, atau pekerjaannya berisiko tinggi terkena Covid, seperti petugas laboratorium dan RS, walaupun hasil rapid tesnya negatif tetap harus melakuan PCR test untuk memastikan apakah virus corona masih ada di tubuh," kata Prof Ida.
Mulut dan hidung
Sebagian masyarakat menganggap tes PCR tidak menyenangkan, karena cara mengambil sampel dari hidung dan mulut dianggap menyakiykan.
Wajar, sebab petugas harus memasukan alat seperti cotton bud yang gagangnya panjang ke mulut.
Bukan hanya berheti di rongga mulut tapi terus ke dalam sampai tenggorokan, agar alat bisa mengambil lendir yang ada di dinding tenggorokan.
Selain lewat mulut, pengambilan sampel juga dilakukan lewat lubang hidung. Alat seperti cotton bud dengan bulu-bulu tipis dimasukan ke lubang hidung dan diputar-putar.
Proses itu tidak menyenangkan, dan harus mengalami keduanya, dari mulut dan hidung.
Maka dalam diskusi secara virtual itu ada pertanyaan, apakah pengambilan sampel PCR boleh dilakukan satu kali saja. Hanya di mulut saja atau di hidung.
Namun jawaban Prof Ida membuat kecut, karena sebaiknya pengambilan sampel dilakukan dari mulut dan hidung.
Tujuannya untuk menghasilkan hasil pemeriksaan yang akurat, sehingga pengambilan sampel harus dilakukan di kedua lokasi tersebut.
Dari berbagai penelitian, hasil positif itu paling banyak dari sampel hidung dibandingkan rongga mulut. Penyebabnya, di rongga mulut terdapat lebih banyak bakteri lain, yang bisa memengaruhi reaksi.
“Yang paling bagus diswab hidung. Memang tidak menyenangkan karena sakit, tapi itulah satu-satunya yang paing mudah dan aman daripada mengambil dari paru-paru. Di mulut juga harus dilakukan karena daripada harus mengeluarkan dahak. Dahak bisa menyebar ke mana-mana,” kata Prof Ida.
Selain sakit, pengambilan sampel dari hidung juga bisa merangsang bersin-bersin. Hal itu normal, dan bukan pertanda positif Covid-19.
“Reaksi normal ketika habis swab hidung jadi bersin-bersin, karena sel-sel di hidung terganggu ketika tersentuh. Jadi reaksinya menjadi bersin-bersin. Tiap orang reaksinya beda-beda, terutama yang alergi biasanya jadi bersin-bersin. Tapi bukan tanda bahwa dirinya positif, karena cuma dioles di permukaan saja dan tidak memasukan sesuatu,” kata Prof Ida menjelaskan.
Orang yang sedang pilek, lanjut doktor ahli patologi ini, juga tetap bisa melakukan tes PCR.
“Bersihkan dulu hidungnya lalu petugas bisa menswab untuk pengambilan sampel,” ujarnya.
Dua minggu sekali
Orang-orang yang bekerja di daerah risiko tinggi, seperti di laboratorium, rumah sakit, atau sehabis bepergian, idealnya melakukan tes 2 kali sebulan, atau dua minggu sekali.
Karena hal ini dilihat dari masa inkubasi virus corona ini jangka waktunya 14 hari.
Prof Ida berharap masyarakat yang punya kesempatan untuk melakukan PCR tes agar melakukannya.
Walaupun tidak nyaman, namun hal itu bisa membuat yakin kondisi tubuh sendiri. Apakah tubuh kita telah terinfeksi atau tidak.
Bila hasilnya positif, kalau hanya gejala ringan, bisa melakukan isolasi mandiri di rumah.
Tapi bila bisa ke rumah sakit umum, atau bila gejala berat, langsung ke rumah sakit rujukan Covid 19 yang ditunjuk pemerintah.
Gejala ringan di antaranya demam, batuk kering, lelah, tapi tidak ada sesak napas, kadang disertai juga , sakit tenggorokan, pilek dan sakit kepala.
Kategori sedang bila napas terasa sesak saat beraktivitas, diare, mual, muntah, sakit kepala, mulut kering, nafsu makan berkurang.
Sementara gejala berat bila sesak napas parah bahkan saat istirahat, demam tinggi, nyeri dada, bibir tampak kebiruan, sakit kepala berat. (Lilis Setyaningsih)
Halaman selanjutnya