Mengenal Predatory Pricing yang Bisa Mematikan UMKM
Aktivitas belanja online melahirkan praktik predatory pricing, yang bisa mematikan UMKM sebuah negara.
Penulis: Mochammad Dipa | Editor: AC Pinkan Ulaan
WARTA KOTA WIKI -- Praktik predatory pricing marak terjadi di marketplace, dan bisa membahayakan kehidupan usaha mikro, kecil, dan menengah di dalam negeri.
Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, mengatakan bahwa produk-produk impor yang masuk ke Indonesia itu banyak yang menerapkan praktik predatory pricing.
Predatory pricing adalah istilah perdagangan, yang merujuk kepada praktik permainan harga, dengan tujuan mematikan pesaing.
Dalam banyak kasus, predatory pricing menyasar pesaing yang lebih lemah atau tak memiliki kekuatan modal besar.
Bentuk predatory pricing adalah produsen, distributor, atau importir dengan sengaja menjual produknya terlampau murah dibanding produk sejenis, sehingga konsumen lebih memilih produknya dibanding produk pesaingnya.
Untuk mendeteksi praktik ini, biasanya adal keterangan "barang ini dikirim dari luar negeri" di etalase sebuah barang, karena penjualnya memang berada di luar negeri .
Kasus produsen hijab di Tanahabang
Muhammad Luthfi menjelaskan terungkapnya praktik predatory pricing bermula dari temuan Word Economic Forum, terkait tumbuhnya industri fesyen Islam di Indonesia.
Dalam laporan itu menyampaikan contoh kasus seorang pedagang hijab di Pasar Tanahabang, Jakarta Pusat.
Dia memiliki konveksi dengan jumlah pekerja mencapai 3.000 orang, sehingga harus membayar ongkos gaji karyawan per tahun sekitar Rp10 miliar.
“Setelah beroperasi dua tahun dari 2016-2018, penjualan hijab tersebut tumbuh luar biasa dan menjadi trendsetter di Tanahabang. Namun yang terjadi, usaha hijab yang dijual pedagang tersebut terekam oleh artificial intelligence dari platform digital asing, yang datang dari luar negeri,” kata Muhammad Lutfi saat menjadi keynote speaker pada acara Forum Group Discussion, yang diadakan Harian Kompas dan Kementerian Perdagangan secara hybrid di Hotel Santika Hayam Wuruk dan aplikasi Zoom, Selasa (25/5).
Setelah platform digital asing itu berhasil merekam data, terkait bentuk, warna, dan harga hijab yang dijual pedagang Indonesia, maka pihak asing itu menawarkan produk yang sama dengan harga jauh lebih murah.
“Tiba-tiba terjadi cross border, mereka masuk ke Indonesia dengan harga hijabnya Rp1.900. Ini bukan hanya menghancurkan kompetisi usaha tapi juga menghancurkan industri. Kalau ini terus didiamkan, UMKM kita ini mau kemana?,” ujar Lutfi.
Proteksi
Oleh sebab itu, lanjut Lutfi, sebagai regulator, Kementerian Perdagangan akan bertindak sebagai wasit yang memastikan perdagangan dapat terjadi adil dan bermanfaat. Khususnya di platform e-commerce.
“Jadi kita memang perlu punya wasit yang adil dan bermanfaat. Saya ingatkan kepada semua masyarakat, bukan Permendag 50 Tahun 2020 yang kami mau ubah. Ini untuk proteksi. Tidak ada yang melarang impor, tapi kalau dia mau impor, ketentuannya sama dengan importir lainnya. Jadi aturannya untuk offline dan online yang sama,” ucap Lutfi.
Perlakuan yang sama
Di acara yang sama, VP of Corporate Communications Tokopedia, Nuraini Razak, menegaskan bahwa di Tokopedia tidak ada satupun penjual yang cross border, alias penjual dari luar negeri.
“Dari 11 juta penjual kami, 100 persen penjual lokal dan hampir 94 persennya adalah ultra mikro,” kata Nuraini mengungkapkan.
Nuraini menambahkan, pihak Tokopedia sangat setuju agar pemerintah segera membuat aturan mengenai penjualan barang impor secara daring, yang diatur sama seperti penjualan barang impor secara luring.
Halaman selanjutnya
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!