Wabah Covid 19
Badan POM Izinkan Penggunaan Favipiravir dan Remdesivir untuk Pasien Covid-19
Favipiravir dan Remdesivir telah diperbolehkan Badan POM, digunakan untuk mengobati pasien Covid-19 di Indonesia.
WARTA KOTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) Republik Indonesia mengizinkan penggunaan Favipiravir dan Remdesivir, untuk mengobati pasien Covid-19 dalam kondisi darurat pandemi.
Sebagaimana dilansir siaran pers Badan POM yang dikirim ke Warta Kota, izin penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization/EUA) Favipiravir itu dikeluarkan pada 3 September 2020.
Izin diberikan kepada industri farmasi PT Beta Pharmacon (Dexa Group) dengan merek dagang Avigan, dan kepada PT Kimia Farma yang saat ini sudah memproduksi produk generik Favipiravir di Indonesia.
Sementara pada 19 September 2020, Badan POM mengeluarkan EUA Remdesivir kepada PT Amarox Pharma Global, PT Indofarma, dan PT Dexa Medica.
EUA merupakan persetujuan penggunaan obat atau vaksin saat kondisi darurat kesehatan masyarakat, dalam hal ini pandemi Covid-19.
Mempercepat
Menurut BPOM, sejumlah uji klinis menunjukkan Favipiravir memberikan manfaat kepada pasien derajat ringan dan sedang, yang dirawat di rumah sakit.
Hal yang sama juga ditunjukan Remdesivir kepada pasien derajat berat, yang dirawat di rumah sakit.
“Penerbitan EUA diharapkan dapat memberikan percepatan akses obat-obat yang dibutuhkan, dalam penanganan COVID-19 oleh para dokter, sehingga mempunyai pilihan pengobatan yang sudah terbukti khasiat dan keamanannya dari uji klinik," kata Kepala Badan POM RI, Penny K Lukito, dalam siara pers itu.
Dia berharap, ketersediaan pilihan obat-obat tersebut dapat meningkatkan angka kesembuhan, dan menurunkan angka kematian pasien Covid-19.
Farmakovigilans
Meski begitu, Badan POM terus melakukan pengawasan penyaluran dan peredaran sejak dari industri farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana pelayanan kefarmasian.
Badan POM juga mewajibkan industri farmasi pemilik EUA untuk menjamin mutu obat; melakukan uji klinik di Indonesia, untuk memastikan khasiat dan keamanan obat; serta melakukan farmakovigilans melalui pemantauan dan pelaporan efek samping obat, yang harus disampaikan kepada Badan POM.
“Semoga para dokter dan tenaga kesehatan lain bekerja sama, dengan berpartisipasi aktif dalam pemantauan terhadap khasiat dan keamanan melalui kegiatan farmakovigilans,” kata Penny.
Farmakovigilans merupakan kegiatan pemantauan dan pelaporan kejadian tidak diinginkan, dan/atau efek samping obat pada pasien, oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan.
Semua laporan farmakovigilans yang diterima oleh Badan POM dievaluasi secara periodik.
Apabila terdapat peningkatan frekuensi efek samping, maka Badan POM dapat melakukan tindak lanjut dengan memberikan komunikasi risiko, dan pencabutan EUA untuk meningkatkan kehati-hatian dalam penggunaan dan perlindungan kesehatan masyarakat.
Penjualan obat daring
Sejak Maret sampai September 2020, Badan POM secara berkala melakukan patroli siber terhadap obat yang diklaim dapat menyembuhkan COVID-19.
Pemantauan siber itu menemukan sekitar 46.081 tautan (link), sebanyak 2.645 di antaranya adalah pelapak ilegal yang menjual obat antivirus.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!