New Normal

WHO, UNICEF, UNESCO Bekerjasama Terbitkan Panduan Pembukaan Kembali Sekolah

WHO, UNESCO, dan UNICEF telah menyusun panduan pembukaan kembali sekolah, di masa pandemi Covid-19.

Penulis: AC Pinkan Ulaan | Editor: AC Pinkan Ulaan
Pixabay/Sasint
Anak sekolah 

WARTA KOTA -- Sudah tujuh bulan sekolah-sekolah di Jakarta tutup akibat pandemi Covid-19.

Bukan hanya di Jakarta, sebab sekolah-sekolah di sekitar Jakarta, bahkan di negara-negara lain juga banyak yang masih tutup karena pandemi ini belum juga mereda.

Kegiatan pembelajaran dialihkan ke pembelajaran jarak jauh (PJJ), namun banyak orang sepakat bahwa PJJ tidak bisa menggantikan sekolah tatap muka.

Belum lagi lagi masalah perangkat keras dan koneksi internet yang dialami anak-anak, terutama yang penghasilan orangtuanya terbatas.

Situasi ini tak luput dari pengamatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF), dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Tiga lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini kemudian bekerja sama untuk untuk membuat panduan pembukaan sekolah kembali.

Semakin besar dampak negatifnya

Dalam video yang dipublikasikan WHO di media sosial, Audrey Azoulay, Direktur Jendral UNESCO, menyatakan bahwa semakin lama sekolah ditutup, semakin besar dampak negatifnya.

"Terutama bagi anak-anak yang tidak beruntung dalam soal ekonomi. Karena selain untuk tempat belajar, sekolah adalah tempat mereka memperoleh layanan kesehatan, tempat yang aman, dan kadang tempat untuk memperoleh asupan nutrisi," kata Azoulay.

Sementara, menurut pihak UNICEF, krisis pendidikan bagi anak-anak semakin besar di masa pandemi Covid-19.

"Sebelum pandemi, dunia sudah menghadapi krisis pendidikan, berupa akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak. Jika kita tak bertindak sekarang, krisis ini akan semakin besar, dan anak-anak yang harus menanggung akibatnya paling besar," Henrietta Fore, Direktur Eksekutif UNICEF.

Namun, membuka kembali sekolah di masa pandemi Covid-19 memang penuh risiko. Salah-salah malah meningkatkan jumlah kasus Covid-19 dengan sekolah sebagai klaster baru.

Karena itu, menurut Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jendra WHO, pembukaan kembali sekolah harus dilakukan dengan hati-hati.

Dasar pertimbangan

Karena itulah WHO, UNESCO, dan UNICEF bekerja sama dalam pengamatan, survei, analisis, dan membuat berbagai skenario pembukaan kembali sekolah, untuk menghasilkan panduan pembukaan kembali sekolah di setiap negara.

Menurut Tedros Adhanom, ada 4 dasar pertimbangan dari penyusunan panduan ini. Yang pertama ialah, memastikan kelanjutan pendidikan dan pembelajaran sosial bagi anak-anak yang aman.

Kemudian yang kedua adalah, memperkecil risiko penularan SARS-CoV-2 di lingkungan sekolah dan lingkungan pendukungnya.

Ketiga, menjaga agar sekolah agar tidak menjadi sumber penularan SARS-CoV-2 di komunitas.

Dan yang keempat adalah, memastikan bahwa protokol kesehatan masyarakat dan sosial sejalan dan mendukung protokol kesehatan yang diterapkan di masyarakat.

Pendekatan risiko

"Panduan pembukaan sekolah ini menggunakan pendekatan risiko, yang dipengaruhi oleh situasi di tingkat kecamatan. Ada wilayah yang tidak memiliki kasus sama sekali, ada yang kasusnya sporadis. Ada pula yang kasus penularan klaster, dan penularan secara komunitas," kata Tedros Adhanom.

Skala risiko juga dipengaruhi oleh kapasitas sekolah, kemampuan sekolah beroperasi secara sehat, dampak penurupan sekolah bagi pendidikan masyarakat setempat, tingkat kesehatan dan kesejahteraan para murid, serta konidisi kesehatan masyarakat di lingkungan sekolah berada.

Menurut panduan itu, pembukaan sekolah adalah keputusan pemimpin tingkat distrik (kecamatan), berdasarkan taksiran risikonya.

Inilah panduan pembukaan kembali sekolah, yang disusun oleh WHO, UNESCO, dan UNICEF:

I. Status penularan Covid-19 di wilayah kecamatan

Tidak ada kasus: Semua sekolah boleh dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19

Kasus sporadis: Semua sekolah boleh dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19

Kasus penularan klaster: Sekolah yang berada di klaster harus tutup, namun sekolah di luar klaster boleh dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Kasus penularan komunitas: Berdasarkan protokol kesehatan wilayah, sekolah harus ditutup bila berada di wilayah yang tren kasus Covid-19 terus naik, jumlah pasien Covid-19 yang dirawat terus bertambah, jumlah kasus kematian Covid-19 juga bertambah. Bila ada sekolah yang memutuskan tetap buka, maka harus menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dengan ketat.

II. Pendekatan menyeluruh dan berlapis untuk mencegah penularan Covid-19 di sekolah:

1. Tingkat komunitas

- Deteksi awal kasus suspek, pemeriksaan kasus suspek, identifikasi dan melacak kontak, mengkarantina kontak.

- Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan penegakan regulasinya, untuk mencegah terjadinya kerumunan dan mengurangi mobilitas manusia.

- Melaksanakan 3 M: Menjaga jarak minimal 1 meter, mencuci tangan, dan menggunakan masker.

- Edukasi kepada masyarakat, melindungi kelompok masyarakat yang rentan penularan, menciptakan transportasi publik yang aman, termasuk walking buses (orang dewasa mengantar beberapa anak berjalan kaki ke sekolah), menyiapkan jalur sepeda yang aman.

2. Tingkat sekolah

- Kebijakan administratif: mengatur kehadiran dan daftar kehadiran murid dan guru secara bergantian, belajar dalam kelompok kecil murid dan guru yang tetap, mengatur jam masuk sekolah, jam istirahat, aturan di kamar mandi, kantin, dan jam pulang sekolah, membuat pembelajaran jarak jauh bagi siswa yang mendapat jadwal belajar dari rumah.

- Infrastruktur: mengatur kembali ruang fisikal dan penggunaanya, membedakan pintu masuk dan keluar, membuat jalur jalan di dalam sekolah dan menandainya dengan marka, menempatkan fasilitas cuci tangan di depan kelas.

- Kebersihan: Menambah frekwensi membersihkan area sekolah, terutama di permukaan benda yang dipakai bersama.

- Pengaturan udara: mengubah sistem sirkulasi udara agar udara segar lebih sering masuk ruangan, bisa dengan membuka jendela dan pintu, atau kegiatan belajar di luar ruangan.

- Penggunaan masker: Bila jaga jarak fisikal tak bisa dilakukan maka masker harus dikenakan sepanjang waktu, menyediakan masker di lingkungan sekolah.

- Skrining gejala: orangtua dan guru harus memperhatikan gejala yang muncul pada anak, bila anak menunjukkan gejala sakit harus tinggal di rumah, melakukan pemeriksaan lanjutan, mengisolasi suspek.

- Transportasi: Mengatur kembali transportasi waktu kedatangan dan pulang murid dan guru.

- Komunikasi: Membangun sistem komunikasi antara orangtua, murid, dan guru (sekolah)

- Layanan sekolah: Melanjutkan kembali layanan sebelum masa pandemi, seperti kesehatan mental, dukungan psikososial, makan di sekolah, program nutrisi, imunisasi, dll.

3. Tingkat kelas:

- Menjaga jarak bila dapat dilakukan

- Memakai masker sesuai anjuran

- Sering mencuci tangan

- Menjalankan etika batuk dan bersin

- Membersihkan dan sterilisasi ruangan

- Ventilasi yang baik

- Mengatur kembali posisi meja dan kursi, mengelompokan siswa bila diperlukan.

4. Tingkat individu dengan risiko tinggi

- Mengidentifikasi murid dan guru yang memiliki risiko tinggi penyakit parah, individu yang sudah memiliki masalah kesehatan, membuat strategi agar individu ini aman.

- Menerapkan pendekatan dari berbagai sisi untuk memastikan anak-anak berkebutuhan khusus terpenuhi kebutuhannya.

- Menjaga jarak dan menggunakan masker.

- Sering mencuci tangan dan melakukan etika batuk/bersin.

Ikuti kami di
644 articles 182 0
Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.


Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

BERITA TERKINI

berita POPULER

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved