Wisata Kota Toea: Batavia Menarik Orang-orang Bangsa Eropa untuk Datang

Editor: AC Pinkan Ulaan
Pada tahun 1937 Kota Batavia dihuni berbagai suku bangsa Nusantara dan bangsa Eropa. Keterangan foto: Kota Batavia sekitar tahun 1780.

Penduduk kota Jakarta pada saat ini sangatlah beragam, dan rasanya hampir semua suku bangsa Indonesia bisa ditemuka di Jakarta.

Hal ini tidak mengherankan mengingatkan Jakarta adalah Ibu Kota negara Republik Indonesia (RI), sehingga segala urusan administrasi kenegaraan dan politik dilakukan di kota ini.

Menariknya, magnet Jakarta menarik orang dari segala penjuru Nusantara bukan hanya terjadi di zaman ini.

Saat negara RI belum terbentuk, dan Jakarta masih bernama Batavia, kota yang dilewati Sungai Ciliwung ini sudah menjadi tempat persinggahan banyak orang dari segala penjuru Nusantara.

Bahkan berbagai bangsa Eropa bermukim di cikal bakal kota Jakarta ini.

Hal ini diceritakan oleh Frieda Amran, yang pernah menjadi kontributor rubrik Wisata Kota Toea di Harian Warta Kota pada tahun 2010.

Demikian cerita Frieda, seorang antropolog yang bermukim di Belanda, mengenai Jakarta pada tahun 1937.

WARTA KOTA WIKI -- Kadang-kadang bingung melihat banyaknya orang di Jakarta. Seperti semut mengerumuni madu, tapi di mana madunya?

Rupanya pada tahun 1937 orang sudah mencatat bahwa jumlah penduduk Batavia terus meningkat.
Menurut laporan Gemeente Batavia (dalam Batavia als Handels-, Industrie- en Woonstad, 1937), dari keseluruhan jumlah penduduk (termasuk Meester Cornelis) yang lebih dari 500.000 jiwa, sebanyak 37.076 jiwa berbangsa Eropa, 409.655 jiwa Pribumi, 78.815 jiwa berbangsa Cina, dan sekitar 7.469 orang Timur asing (data penduduk Batavia, 1935).

Dua tahun kemudian, jumlah penduduk berbangsa Eropa sudah meningkat menjadi 43.000 jiwa.

Dalam semua kelompok itu, jumlah penduduk lelaki jauh lebih banyak daripada yang perempuan.

Sebetulnya hanya 36 persen dari penduduk berbangsa Eropa itu berasal dari Belanda, namun suasana kehidupan sosial di Batavia diwarnai oleh kebudayaan negeri Kincir
Angin itu.

Selain orang Belanda, ada pula orang Inggris (486 orang), orang Jerman (955 jiwa), dan sejumlah bangsa lainnya.

Sebagian besar dari orang-orang Eropa itu (26.394 orang) lahir di Batavia, dan bahkan merupakan keturunan kedua. Artinya, orangtua mereka pun lahir di Batavia atau daerah lain di Nusantara.

Ketika itu, entah mengapa orang Jepang (528 jiwa) dikategorikan sebagai "bangsa Eropa".

Ada pula sejumlah orang pribumi yang secara resmi diberikan status yang sama dengan orang Eropa, oleh Gubernur-Jenderal.

Terjepitnya orang Indo

Semua orang itu mempunyai hak yang sama untuk bekerja di kantor-kantor pemerintah karena secara hukum, tidak ada perbedaan antara orang Eropa dan orang Indo-Eropa (anak-anak dari perkawinan campuran antara orang Eropa dan bangsa non-Eropa). Namun dalam kenyataan situasinya lain sekali.

Keturunan campuran Indo-Eropa merupakan bangsa yang terjepit. Dianggap lebih rendah oleh orang Belanda maupun pribumi, karena dianggap tidak murni.

Orang-orang yang lazim disebut sebagai orang Indo ini bergantian mencemooh orang pribumi, Arab atau Cina yang dianggap berkedudukan sosial lebih rendah lagi.

Friksi

Catatan dalam buku harian dan novel atau roman Belanda, yang mengisahkan kehidupan tempo dulu di Batavia penuh dengan anekdot dan keluh-kesah mengenai friksi antar sukubangsa dan ras itu.

Si Hamid yang masuk ke sekolah tiba-tiba diberi nama Hendrik oleh gurunya, yang menganggap nama Hamid tidak bagus!

Belum lagi anak-anak Belanda yang sepulang sekolah berkeliling dengan sepeda mereka, mencari lawan berkelahi yang berkulit sawo matang.

Pengasuh yang baik hati

Namun, sehari-hari, siang dan malam, hampir semua anak-anak Belanda dan Indo itu diasuh oleh seorang pembantu pribumi.

Pengasuh-pengasuh ini tidak hanya menyediakan makan, minum dan pakaian mereka, tetapi juga menjadi semacam ibu kedua yang memberikan kehangatan, kasih sayang dan lindungan.

Tanpa terasa, anak-anak bule dan setengah bule itu menyerap banyak unsur kebudayaan Indonesia dari para pengasuh mereka.

Kini, alangkah banyaknya orang Belanda dan Indo, yang dulu lahir dan besar di Indonesia, memilih untuk makan nasi daripada kentang, dan membanggakan ikatan batinnya dengan Nusantara. (Frieda Amran)

Keterangan: Artikel ini pernah dimuat di rubrik Wisata Kota Toea di Harian Warta Kota pada November 2010.

Berita Populer