WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA --- Es batu menjadi sesuatu yang penting di negara beriklim tropis seperti di Indonesia.
Apalagi saat tiba musim kemarau, bisa jadi kebutuhan akan es batu meningkat tajam dibanding saat musim hujan. Sebut saja di rumah, restoran, hingga warung nasi tegal sekalipun pasti menyediakan es batu.
Apalagi kini hampir di setiap rumah, terutama di kota-kota besar, memiliki setidaknya satu unit lemari es atau kulkas dimana bisa memproduksi es batu kapanpun kita mau.
Tapi berbanding terbalik pada dua-tiga abad lalu di Indonesia. Saat itu es batu adalah barang langka. Bahkan dianggap sebagai barang mewah.
Baca juga: Ketagihan Mengunyah Es Batu Tanda Anda Mengalami Anemia dan Kecemasan
Bahkan kehadirannya di Indonesia sempat jadi perbincangan orang-orang. Barangkali kalau sekarang bisa disamakan dengan sesuatu yang viral di media sosial.
Minuman dingin di era tahun 1800-an adalah sajian mewah yang hanya dinikmati segolongan kecil keluarga Belanda.
Mereka adalah orang Belanda yang tinggal antara lain di kawasan Meester (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur) dan Weltevreden (sekarang Sawah Besar, Jakarta Pusat).
Saat itu, es batu digunakan untuk pelengkap minum bir. Seperti dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Juni 1972, terjadi kehebohan saat es pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1846.
Pada 18 November 1846, surat kabar Javasche Courant memberitakan bahwa sehari sebelumnya, 17 November 1846, sebuah kapal besar dari Boston, Amerika Serikat, telah menambatkan jangkarnya.
Kapal itu memuat es batu yang dipesan oleh Roselie en Co. Es itu akan dibongkar keesokan harinya.
Kabar soal es ini menyebar hingga ke Benteng Batavia setelah adanya pemberitaan soal itu.
Kabar ini membuat sibuk pihak Bea Cukai karena belum mempersiapkan aturan mengenai impor es batu.
Kala itu, semua orang memperbincangkan es batu, yang disebut sebagai "batu-batu putih sejernih kristal, yang kalau dipegang bisa membuat tangan kaku".
Beberapa hari kemudian, muncul iklan Roselie en Co yang menjual es tersebut dengan harga 10 sen setiap 500 gram.
Dibungkus selimut wol
Kehebohan soal es batu tak berhenti sampai di situ.
Surat kabar Javasche Courant menayangkan artikel mengenai cara penyimpanan es batu yaitu dibungkus dengan selimut wol.
Es dianggap barang impor berharga dari Amerika sehingga penyimpanannya harus diperhatikan agar tak cepat mencair.
Kedatangan es saat itu juga dianggap sebagai peluang bagi para pelaku bisnis.
Sejumlah restoran mulai menyediakan sajian minuman air es.
Selain itu, sebuah perusahaan, Djakarta Firms Voute en Gherin, juga memanfaatkan "histeria" masyarakat terhadap es batu dengan menjual selimut wol yang bisa dipergunakan untuk menyimpan es.
Kisah lainnya, saat seorang pengusaha, David Gilet, menyatakan sanggup menyediakan air es untuk berbagai pesta dengan biaya 15 gulden.
Dan, untuk pertama kalinya, air es juga disajikan saat malam Natal pada 1846 di Hotel Des Indes (berubah nama menjadi Hotel Duta Indonesia, dan akhirnya dihancurkan kini menjadi Duta Merlin, Jakarta Pusat).
Obat sariawan
Dalam perkembangannya, es batu diketahui bisa menjadi obat sariawan.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu bahkan memberikan bonus sebesar 6.000 gulden untuk mereka yang sanggup mengirimkan es batu ke rumah sakit di Batavia.
Es ini akan digunakan untuk mengobati tentara Belanda yang terkena sariawan.
Sementara, untuk di Semarang dan Surabaya, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan bonus sebear 7.300 gulden.
Impor es dari Amerika ini berlangsung hingga 1870 karena saat itu sudah berdiri pabrik es di Batavia.
Pabrik ini berdiri setelah prosedur pembuatan amoniak ditemukan di Eropa. Teknologi ini diimpor pada 1880.
Kehadiran teknologi ini turut mengubah cara penyimpanan bahan makanan cadangan yang ketika itu belum menggunakan pendingin sejenis ini.
Muncul pabrik es batu
Satu dekade kemudian, pabrik es batu mulai berdiri di berbagai daerah.
Di Batavia, misalnya, pabrik es berdiri di Molenvliet (Jalan Gadjah Mada dan Jalan Hayam Wuruk) dan kawasan Petojo.
Kebiasaan minum dingin pun semakin menyebar luas.
Pada 1895, seorang pengusaha Tionghoa yang lahir di Semarang tahun 1861, Kwa Wan Hong, mendirikan pabrik es batu di Semarang.
Hong kemudian meluaskan bisnisnya dengan membangun pabrik es lainnya di Semarang (1910), Tegal (1911), dan Pekalongan (1911).
Rupanya bisnisnya berjaya. Hong lalu membangun dua pabrik lagi yakni di Surabaya pada 1924 dan 1926.
Selang 2 tahun kemudian, dia menetap di Batavia (Jakarta) dan membangun pabrik es di Jalan Prinsenland (Mangga Besar) dan Rawa Bening di Meester Cornelis, Jatinegara.
Atas kesuksesannya itu Hong pun dijuluki sebagai "rajanya es batu ".
Awalnya bukan untuk minuman
Pada masa awal es batu diciptakan, bukan ditujukan untuk minuman dingin.
Fisikawan dan humanitarian Amerika John Gorrie membuat sebuah kulkas pada 1844 dengan perlengkapan pendinginan udara.
Kulkasnya ternyata menghasilkan es.
Dari sini Gorrie dapat dianggap pembuat es batu, namun es batu buatannya tidak untuk minuman dingin.
Di menggunakan es tersebut untuk menurunkan temperatur ruangan.
Es batu diproduksi secara domestik dengan mengisi tempat es batu dengan air dan meletakkannya di sebuah freezer.
Beberapa freezer juga dilengkapi dengan sebuah pembuat es, yang membuat es batu secara otomatis dan meletakkannya dalam sebuah tempat yang dari sana es tersebut dapat dituangkan secara langsung ke dalam gelas.
Tempat es batu dirancang untuk membagi penempatan air, yang kemudian ditempatkan di dalam sebuah freezer sampai air tersebut membeku menjadi es, menghasilkan es batu.
Tempatan tersebut biasanya freksibel, sehingga es batu yang membeku dapat dengan mudah dipisahkan dari tempatan yang freksibel tersebut.
Tempat es batu kayu pertama ditemukan oleh Lloyd Groff Copeman.
Tempat es batu yang terbuat dari baja yang fleksibel pertama dibuat oleh Guy L. Tinkham pada 1933.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Hebohnya Indonesia saat Es Batu Pertama Tiba pada 1846"
Penulis : Inggried Dwi Wedhaswary
Halaman selanjutnya
...