Wabah Covid 19
Lima Informasi Covid-19 yang Ternyata Salah Kaprah
Lima salah kaprah soal Covid-19 di Amerika Serikat. Jangan-jangan ini juga yang terjadi di Indonesia.
Penulis: AC Pinkan Ulaan | Editor: AC Pinkan Ulaan
WARTA KOTA -- Angka pertambahan harian kasus Covid-19 di Jakarta, yang masih di angka ratusan ribu, memang membuat prihatin banyak orang.
Padahal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), lengkap dengan sanksinya, namun tak memberi efek signifikan.
Edukasi soal Covid-19 dan virus corona 2 ini juga sudah banyak dilakukan dan dipublikasikan.
Bisa jadi ada salah kaprah di masyarakat dalam memahami Covid-19 ini.
Pasalnya, sebagaimana dilansir CNN, di Amerika Serikat (AS) saja banyak warga negara itu yang salah memahami virus corona 2 ini.
Hal ini cukup masuk akal mengingat SARS-CoV-2, nama resmi virus corona 2 ini, memang "makhluk" baru yang belum banyak orang kenal.
Bagkan para ahli epidemiologi juga masih minim informasinya soal virus ini.
Infodemik
Sayangnya, sebagaimana dinyatakan pihak WHO, dalam kondisi masih meraba-raba ini banyak beredar informasi bodong soal virus ini.
"Bersamaan dengan menyebarnya Covid-19 ke seluruh dunia, beredar juga rumor dan informasi yang salah yang juga bisa berbahaya," kata Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia itu, yang dilansir CNN.
Yang dimaksudnya berbahaya itu adalah munculnya salah kaprah di masyarakat, yang membuat penanganan pandemi ini menjadi sulit.
Pasalnya, muncul ketidak percayaan masyarakat kepada otoritas kesehatan dan sistem kesehatan di negaranya.
Salah kaprah, lanjut Tedros, juga membuat masyarakat coba-coba mengobati diri sendiri, tanpa pengetahuan yang tepat.
Mungkin ada kejadian di negara lain, orang yang sok tahu mengobati Covid-19 dengan zat kimia yang ternyata beracun bagi tubuhnya sendiri.
Maka WHO mengimbau kepada pemerintah setiap negara, media massa, para peneliti, dan tentu masyarakat untuk mencegah "infodemik" menyebar.
Infodemik ini istilah baru, gabungan kata informasi dan epidemik (penyakit menular). Artinya sendiri adalah informasi yang menyebar dengan cepat, secepat penularan kuman penyakit, meskipun informasi itu belum tentu benar.
CNN sendiri telah mengumpulkan 5 informasi salah kaprah yang paling banyak beredar di masyarakat AS.
Mungkin saja info salah kaprah ini juga terjadi di Indonesia.
Inilah kelima informasi salah kaprah tersebut:
1. Hanya orang lanjut usia yang terkena virus corona 2
Inilah yang diyakini banyak orang muda di AS sana, sehingga mereka cuek berkerumun dan mengabaikan protokol kesehatan.
Menariknya, Presiden AS Donald Trump juga meyakini ini.
"Ini menulari orang-orang tua dengan masalah jantung, dan masalah (kesehatan) lain jika mereka punya. Mereka itu yang sakit, nah itu. Kalian tahu, di beberapa negara bagian ribuan orang (tertular Covid-19), tidak ada yang muda. Tidak ada yang di bawah 18 tahun. Benar-benar tidak ada," kata Trump pada Senin (28/9) dalam kampanye Pemilihan Presiden AS, yang dikutip oleh CNN.
Padahal yang sesungguhnya terjadi, virus ini bisa mengenai manusia dari berbagai kelompok usia.
Kemudian orang tua biasanya yang mengalami kondisi paling parah, atau lebih rentan meninggal dunia bila tertular.
Jadi, orang muda juga tidak kebal dengan virus corona 2.
Bahkan dalam data yang dilansir Center od Disease Control and Prevention (CDC), yang berisi laporan mingguan tingkat keparahan dan kematian, lebih dari 20 persen pasien ada di kelompok usia 20-29 tahun.
Persentase paling banyak dari seluruh kelompok usia. Kondisi tersebut berlangsung pada Juni, Juli, dan Agustus.
Sementara data dari National Center for Health Statistics menyebutkan, lebih dari 1.800 orang berusia di bawah 35 tahun meninggal dunia akibat Covid-19.
Termasuk di dalamnya 419 orang berusia di bawah 25 tahun.
Data lainnya, 851 anak-anak di bawah usia 18 tahun dirawat di rumah sakit akibat Covid-19.
Namun informasi ini jangan sampai membuat kita terlalu khawatir atau bahkan "parno", sebab ada penjelasannya.
Orang tua memang rentan tertular, karena biasanya mereka memang sudah mengidap penyakit lain, yang disebut dengan istilah komorbid.
Kondisi itu yang membuat infeksi virus corona menjadi parah, karena sistem imunitas orang-orang ini sudah buruk akibat penyakit sebelumnya.
Faktor usia juga berpengaruh kepada ketangguhan sistem imunitas.
Sementara bagi orang muda, kondisi komorbid membuat risiko keparahan menjadi naik.
Sedangkan di anak-anak, virus corona 2 menyebabkan sistem imunitas bereaksi secara berlebihan, sehingga malah menimbulkan peradangan.
Bukan hanya itu, sistem imunitas yang bereaksi berlebihan juga membuat tubuh mencetuskan reaksi bernama cytokine storm. Kondisi ini justru merusak tubuh.
Kondisi ini memiliki sebutan multi-system inflammatory syndrome in children atau MIS-C.
2. Masker tidak melindungi dari virus corona 2
Bila muncul salah kaprah info soal masker, bisa jadi WHO juga berperan dalam hal ini sebab memberi informasi yang tidak konsisten.
Pada awal tahun, saat virus corona 2 belum menyebar keluar Tiongkok, Organisasi Kesehatan Dunia itu merilis informasi bahwa orang yang tidak secara rutin melakukan kontak dengan orang sakit, tidak perlu menggunakan masker.
Imbauan itu juga berfungsi menjaga ketersediaan masker bagi tenaga medis, yang memang lebih membutuhkan masker standar medis.
Namun sekarang WHO menyatakan masker adalah peranti wajib manusia di masa pandemi Covid-19.
Berubahnya imbauan itu setelah diketahui, manusia bisa tertular Covid-19 namun tak menunjukkan gejalanya.
Kemudian diketahui pula bahwa virus corona 2 ini juga bisa menyebar lewat udara, dalam bentuk aerosol.
Padahal selama ini diyakini bahwa penularan virus ini dalam bentuk droplet di sekitar pasien.
"Sebelumnya kami tidak sadar bahwa 40 persen sampai 50 persen pasien itu tanpa gejala. Sekarang kami tahu bahwa orang bisa tertular dari pasien tanpa gejala, maka saat ini masker wajib dikenakan. Datanya sudah semakin jelas," kata Dr Anthony Fauci, seorang pakar penyakit menular kepada CNN.
Fungsi masker itu pada dasarnya untuk mencegah penyebaran virus dari orang yang sakit.
Droplet dari pasien saat dia bernapas, bersin, batuk, bernyanyi, dana berteriak, akan ditangkap oleh masker.
Dengan cara kerja seperti itu, maka masker dengan katup udara sebenarnya "mengkhianati" fungsi utama masker.
Pasalnya, katup udara itu justru tidak menanghkap droplet yang dikeluarkan pemakainya.
Beberapa penelitian menemukan, masker bisa menangkap 90 persen droplet dari aktivitas bernapas.
Kemudian riset terbaru menunjukkan, masker mengurangi penularan virus penyakit pernapasan sampai 56 persen.
Hanya saja, kualitas masker berbeda-beda, tergantung material yang digunakan.
Masker bedah atau masker medis lainnya, misalnya, memiliki filter elektrostatis yang tugasnya menangkap kuman. Karena itu masker jenis ini yang tergolong paling aman.
3. Hanya pasien dengan gejala yang menularkan Covid-19.
Premis salah kaprah ini sudah dibantah oleh beberapa hasil penelitian, yang menemukan bahwa virus ini juga bisa menyebar dalam bentuk aerosol.
Dalam bentuk tersebut si virus bisa bertahan di udara selama berjam-jam, dan beredar lebih jauh dari jarak 2 meter.
Bahkan dalam ruangan dengan sirkulasi udara yang buruk jaraknya bisa lebih dari 6 meter.
Karena itu, meski kita tak melakukan kontak langsung dengan pasien tetap ada risiko tertular.
"Karena itu pakai masker, jangan melakukan kontak langsung, jangan berkerumun," kata Dr Fauci.
Ahli penyakit menular itu juga menyatakan bahwa luar ruang (outdoor) lebih baik dari dalam ruangan (indoor), karena sirkulasi udaranya lebih baik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 80 persen kasus berasal dari situasi kerumunan di dalam ruangan, seperti bar, restoran, pabrik, penjara, kegiatan keagamaan, dan resepsi pernikahan.
4. Covid-19 hanya seperti flu
Donald Trump bersikeras bahwa Covid-19 hanya seperti flu biasa.
Namun ternyata Covid-19 memiliki perbedaan dari flu biasa, meski pun gejalanya sama.
Perbedaan itu ialah fatality ratio Covid-19 lebih tinggi dari flu.
Fatality ratio adalah rasio pasien meninggal dengan jumlah total pasien.
Fatality ratio Covid-19 adalah 0,5 persen untuk kelompok usia 50-69 tahun; dan 5,4 persen untuk kelompok usia 70 tahun ke atas.
Sedangkan fatality ratio flu adalah 0,1 persen.
5. Semua orang akan mendapat vaksin pada musim dingin ini.
Penelitian untuk membuat vaksin Covid-19 sedang dikebut di mana-mana, agar pandemi ini bisa segera diakhiri.
Di AS, Donald Trump meminta agar vaksinasi dilakukan sebelum pemilihan presiden. Namun permintaan itu diragukan bisa terpenuhi.
Ada dugaan bahwa Pemerintah AS akan memaksa vaksinasi sesuai jadwal Trump, tapi vaksin yang tersedia tidak akan mencukupi.
Dr Moncef Slaoui, yang menjadi kepala Operation Warp Speed, lembaga untuk percepatan pengadaan vaksin, sendiri yang prihatin dengan permintaan Trump.
Katanya, vaksin yang dipaksakan itu tidak memiliki data efektivitasnya.
Menurut Slaoui, kelompok yang prioritas mendapatkan vaksin pertama kali adalah para tenaga medis, dan orang-orang yang rentan tertular.
"Untuk masyarakat umum paling cepat pertengahan 2021," katanya.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!